BAB I
PENDAHULUAN
Di Australia selama periode tertentu pastura telah tua (dewasa) sehingga memiliki serat yang tinggi dan kandungan protein rendah. Oleh karena itu suplemen pakan diperlukan untuk domba dalam mempertahankan bobot badannya. Akan tetapi masih sangat terbatas informasi atau penelitian tentang level protein dan energi yang dibutuhkan agar dapat mempertahankan produksi sperma tetap tinggi pada domba.
Sebagian besar penelitian terdahulu menunjukkan pengaruh level nutrisi terhadap produksi sperma pada ternak domestik menggunakan kriteria jumlah produksi sperma per ejakulat (Moule, 1963). Akan tetapi kriteria tersebut terbatas pada value (nilai), kecuali jika mempertimbangkan jumlah keseluruhan ejakulat yang diperoleh secara terus-menerus dalam periode singkat hingga ”exhaustive ejaculation” (Hale and Almquist, 1960; Amann and Almquist, 1962; Lino et al., 1967; Mattner and Braden, 1967).
Salamon’s (1964) berhasil menggunakan metode tersebut yang mengindikasikan bahwa produksi sperma domba merino yang merumput di pastura alami meningkat secara signifikan ketika pemberian protein dan energi sebagai suplemen pakan ditingkatkan. Dalam penelitian ini, bertujuan untuk membuktikan kaitan penting antara protein dan energi yang dikonsumsi terhadap tingkat produksi sperma pada domba देवास.
BAB II
MATERI DAN METODE
Pada tahun 1962, diperkenalkan metode untuk mengestimasi produksi sperma termasuk didalamnya memperhitungkan jumlah sperma dalam saluran (epididimis, vasdeferens dan ampulla). Hasil penelitian tersebut menyarankan bahwa rasio kandungan protein kurang penting dibandingkan kandungan energi. Akan tetapi dalam studi tersebut kita tidak dapat memastikan bahwa protein kasar yang dikonsumsi dalam ransum merefleksikan tingginya protein yang dicerna dalam lambung. Oleh karena itu teknik Ferguson et al., (1967) untuk mencegah degradasi protein ransum dalam rumen menjadi penting, kemudian penelitian tersebut diulang. Selanjutnya ditemukan metode yang lebih baik untuk mengestimasi produksi sperma harian (Lino and Braden, 1972). Dalam metode tersebut memperbandingkan domba dalam kelompok dengan treatment yang dibuat berturut-turut dan menghindari variasi produksi sperma yang besar dalam kelompok.
Percobaan ke-1
Domba merino sebanyak 62 ekor berumur 2 tahun diperoleh dari Armidale. Terdiri dari 39 domba strain Peppin medium wool (10 strain A, 29 strain B) dan 23 ekor domba non-Peppin (8 strain strong-wool (S) dan 15 medium-wool (M). Tabel 1. Variasi Tingkat Pemberian Nutrisi/domba/minggu
Rasio | BK (gram) | PK (gram) | 10-3 x gross energy (Kcal) | 10-3 x digest- Ible energy (Kcal) |
Maintenance | 3040 | 450 | 20.0 | 13.3 |
High energy-high protein (HE-HP) | 4920 | 1005 | 32.0 | 23.6 |
High energy-low protein (HE-LP) | 4180 | 245 | 23.3 | 18.7 |
Low energy-high protein (LE-HP) | 2760 | 930 | 20.0 | 13.1 |
Low energy-low protein (LE-LP) | 2380 | 240 | 16.4 | 10.7 |
Domba tiba di unit Burdekin, Glenfield Veterinary Research Station, N.S.W. Department of Agriculture Mei 1962. Satu bulan kemudian (1 bln) domba-domba tersebut dicukur dan tanduk dipotong. Rata-rata bobot badan setelah pencukuran 36.7 kg selanjutnya penimbangan bobot badan dilakukan setiap 2 minggu dan pemberian rasio pakan ”maintenance” terdiri dari 50% jerami kering yang dipotong-potong, 37% jagung dan 13% linseed meal selama 15 minggu. Pada akhir periode ini rata-rata bobot badan 37.1 kg. Selanjutnya secara acak dialokasikan kedalam 6 kelompok (8 ekor/klpk) dan 2 kelompok (7 ekor/klpk). Strain tidak diperhitungkan dalam pengacakan. Masing-masing dari 8 kelompok dipisahkan dan dilakukan pengacakan untuk perlakuan 4 rasio variasi protein dan energi. Komposisi rasio sebagai berikut:
HE-HP 35% wheaten hay, 34% maize, 31% linseed meal
HE-LP 80% maize, 15% maize starch, 5% wheaten straw
LE-HP 65% linseed meal, 35% wheaten straw
LE-LP 50% wheaten straw, 37% maize, 13% linseed meal
Level protein diperhitungkan berdasarkan estimasi nitrogen dengan metode Kjeldahl; energi bruto (gross energy) dan level kecernaan energi diperhitungkan. Rasio pakan pellet dan pakan mingguan diberikan dalam bak/ekor.
Setelah 15 minggu pemberian pakan dihentikan, semua domba disembelih dengan diinjeksi terlebih dahulu menggunakan sodium pentobarbitone solution dan produksi sperma dalam saluran reproduksi dihitung. Bobot masing-masing testis dan vesica seminalis diperoleh pasca penyembelihan. Hipofise anterior diambil segera pasca pemotongan dan dimasukkan dalam cold acetone.
Estimasi Jumlah Sperma dalam Saluran Reproduksi
Perut dibedah segera setelah diinjeksi pentobarbitone dan menjahit sekeliling ampula untuk mencegah post-mortem dan kehilangan spermatozoa ke dalam urethra (Lino, 1972). Testis, epididimis, vasa deferentia dan ampula selanjutnya dibedah. Vasa deferentia dan ampula dibilas dari proximal hingga bagian akhir (distal) menggunakan 25 ml NaCL. Serabut disekeliling epididimis yang menebal dikelupas, epididimis dipotong menjadi bagian yang kecil-kecil, dimasukkan ke dalam 200 ml Nacl fisiologis 0.9% dan direndam menggunakan mesin macerator 1-2 min pada 14000 rev/min. Hasil dari suspensi dipisahkan untuk diambil 1 ml sebagai sample. Konsentrasi sperma diukur menggunakan haemocytometers. Hanya kepala sperma yang dihitung. Perhitungan dilakukan dua kali sebagai sample, sisi kiri dan kanan diperlakukan secara terpisah.
Percobaan ke-2
Sebanyak 10 ekor domba merino dewasa (5 ekor umur 3-4 th, 5 ekor umur 6-7 th) dipelihara dalam single pens dan diberi 1 perlakuan ransum dari 3 jenis percobaan selama 60-100 hari sebelum pengukuran produksi sperma harian (DSP) dan 10-16 hari koleksi urine. Setelah periode tersebut selesai diberi jenis ransum lainnya dari ke-3 jenis ransum percobaan dan setelah 60-90 hari DSP diukur menggunakan metode pengukuran DSP dari Lino and Braden (1972).
Komposisi dasar ransum yang digunakan: lucerne hay 40%, wheaten hay 10%, maize 30%, maize strach 20% dan mineral (sodium phosphate, magnese sulphate dan sodium chloride). Tiga jenis ransum dengan kandungan protein bervariasi dan disiapkan dengan penambahan 0.5 – 10% formaldehyde-treated casein sebagai komposisi dasar. Masing-masing ransum digiling dan dibuat pellet sebelum digunakan, dimasukkan dalam bak masing-masing kelompok. Bak disimpan dengan kantung isolasi dan disegel sebelum dipergunakan. Dalam percobaan digesti secara in vitro, mengindikasikan bahwa casein tahan terhadap degradasi ruminal. Ke-3 jenis perlakuan:
LE-LP: kandungan dalam pakan 700 g/hari sebagai ransum dasar
LE-HP: kandungan pakan 700 g/hari dan 10% casein
HE-HP: kandungan dalam pakan 1050 g/hari dan 5% casein
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
Percobaan ke-1
Dalam penelitian ini tidak seperti yang diharapkan yang menduga strain tidak berpengaruh signifikan terhadap produksi sperma dalam saluran reproduksi, sehingga strain tidak diperlakukan sebagai faktor perlakuan. Akan tetapi, ketika domba disembelih pada akhir percobaan, domba strain Peppin menunjukkan produksi sperma lebih tinggi secara signifikan daripada non-Peppin, meskipun bobot badan kedua kelompok sama. Antara bobot badan dan kelenjar pituitary ada suatu interaksi penting terkait ransum dan strain domba. Kontribusi terbesar terhadap bobot badan berasal dari domba strain S dengan ransum HE-HP. Rata-rata bobot badan setelah domba disembelih dari ke-4 perlakuan ransum adalah: HE-HP 48.7 kg; HE-LP 43.6 kg; LE-HP 39 kg; LE-LP 35.4 kg sedangkan bobot kelenjar pituitari 169, 145, 130 dan 110 mg.
Tabel 2. Estimasi rata-rata jumlah sperma dan bobot testis, vesikula seminalis pada percobaan ke-1
Ransum dan Strain | 10-9 x Number Of Sperm | Weight of testes (g) | Weight of seminal vesicle (g) | Live weight (kg) | Weight of Pituitary glands (mg) |
Diet: |
|
| |||
HE-HP | 51.15 | 287.6 | 6.42 | 48.7 | 169 |
HE-LP | 44.89 | 242.9 | 5.95 | 43.6 | 145 |
LE-HP | 37.42 | 202.5 | 3.80 | 39 | 130 |
LE-LP | 23.17 | 147.3 | 2.61 | 35.4 | 110 |
Strain: |
|
| |||
A | 53.36 | 258.6 | 5.35 |
|
|
B | 50.40 | 245.2 | 4.99 |
|
|
M | 33.85 | 185.1 | 3.63 |
|
|
S | 19.03 | 191.4 | 4.82 |
|
|
Analisis Variasi:
faktor | D.F. | B. Bdn | F hit | Kons Sperm | F hit | B. Testis | F hit | B. Ves.Sem | F hit | B. Pituitary | F hit |
Diet x Strain | 9 | 89.5 | 3.0** | 1.36 | 0.4 | 3391 | 1.1 | 1.55 | 0.4 | 2626 | 2.4* |
Diet | 3 | 509.2 |
| 21.32 | 6.6*** | 52567 | 61.4*** | 48.09 | 14.2** | 9376 |
|
Strain | 3 | 7.5 |
| 28.05 | 8.6*** | 18382 | 5.7** | 7.80 | 2.3 | 1639 |
|
Error 1B | 46 | 29.9 |
| 3.62 |
| 3178 |
| 3.75 |
| 1105 |
|
Error 2C | 55 |
|
| 3.25 |
| 3213 |
| 3.39 |
|
|
|
* P <>
A 10-20 x mean square
B Error for testing interaction effects
C Error for testing main effects in the absence of interactions
Tabel 3. Perbedaan Jumlah (Konsentrasi) sperma, Bobot Testis dan Vesikula seminalis terhadap level energi dan protein yang dikonsumsi
Faktor | 10-9 x No. Of Sperm | Weight of Testes (g) | Weight of Seminal Ves (g) |
Energy intake | 31.96 ± 9.2** | 175.4 ± 28.8*** | 6.01 ± 0.94*** |
Protein intake | 16.82 ± 9.2 | 86.34 ± 28.8* | 1.43 ± 0.94 |
Strain of ram | 50.88 ± 10.96*** | 127.3 ± 32.7** | 1.89 ± 1.05 |
* P <>
Percobaan ke-2
Dalam suatu percobaan pengaruh peningkatan konsumsi protein saja sebagai pembanding LE-LP dan LE-HP (domba 1,2 dan 3). Nilai DSP pada domba terhadap 2 jenis perlakuan ransum tidak mengalami perbedaan secara signifikan. Ketika konsumsi protein dan energi ditingkatkan (LE-LP dibandingkan HE-HP pada domba 4,5 dan 6), DSP meningkat (rata-rata peningkatan 71%) pada (P <>
Tabel 4. Pengaruh peningkatan konsumsi protein dan energi terhadap produksi sperma harian (DSP) pada domba dalam percobaan ke-2
Comparison | Ram No. | Diet fed first | 10-9 x DSP on: Diet A Diet B | Percentage change | |
LE-LP (A) vs LE-HP (B) | 1 | LE-LP | 5.98 | 6.20 | + 3.6 |
2 | LE-LP | 7.57 | 9.02 | + 19.1 | |
3 | LE-HP | 5.77 | 4.77 | - 17.4 | |
Means 6.44 6.66 + 3.4 | |||||
LE-LP (A) vs HE-HP (B) | 4 | LE-LP | 2.48 | 4.42 | + 78.2 |
5 | HE-HP | 3.75 | 6.33 | + 68.7 | |
6 | HE-HP | 2.96 | 4.96 | + 67.8 | |
Means 3.06 5.24 + 71.2 | |||||
LE-HP (A) vs HE-HP (B) | 7 | LE-HP | 5.59 | 7.59 | + 35.7 |
8 | LE-HP | 4.37 | 5.83 | + 33.5 | |
9 | HE-HP | 5.11 | 6.27 | + 22.7 | |
10 | HE-HP | 5.37 | 6.08 | + 13.2 | |
Means 5.11 6.44 + 26.0 |
BAB IV
KESIMPULAN
Rata-rata bobot badan dan bobot kelenjar pituitari dari ke-4 perlakuan ransum percobaan ke-1: HE-HP 48.7 kg; HE-LP 43.6 kg; LE-HP 39 kg; LE-LP 35.4 kg sedangkan bobot kelenjar pituitari 169, 145, 130 dan 110 mg. Imbangan HE-HP terbaik diantara ke-4 jenis perlakuan ransum.
Ransum dan strain berpengaruh sangat signifikan terhadap konsentrasi sperma (P <>.
Konsumsi energi berpengaruh sangat signifikan (P <>
BAHAN DISKUSI
Dalam hasil penelitian tersebut mengindikasikan secara jelas ransum berpengaruh terhadap tingkat produksi sperma. Peningkatan konsumsi energi yang lebih tinggi menghasilkan produksi sperma harian yang lebih besar dibandingkan hanya peningkatan konsumsi protein. Titon et al., (1964) tidak menemukan penurunan yang signifikan terhadap produksi sperma pada domba dengan penurunan konsumsi protein atau energi (level kontrol 75%). Akan tetapi kriteria yang digunakan adalah jumlah sperma per ejakulat ”depletion test” dengan hanya 8 ejakulat selama lebih dari 2 hari yang sepertinya tidak memberikan gambaran yang baik terhadap DSP (Mattner and Braden, 1976; Lino and Braden, 1972).
Dalam percobaan ke-1, ditemukan perbedaan yang signifikan antara domba dengan ransum HP dibandingkan LP terhadap berat testis. Protein dalam ransum tidak terlindungi dari degradasi dalam rumen, HP dalam ransum kemungkinan lebih sedikit yang bisa diabsorbsi menjadi asam amino dibandingkan ransum dengan LP (Hogan and Weston, 1967). Dua ransum dengan HP menyediakan 20% lebih digestible energy daripada LP, kemudian rasio DCP1/DOM (crude protein digested in intestine/digestible organic matter) untuk LP lebih rendah daripada HP. Dalam percobaan ke-2 penambahan protein yang telah dilindungi dari degradasi ruminal, tidak ada pengaruh DSP ketika rasio DCP1/DOM ditingkatkan dari 12 menjadi 21. Dalam percobaan ke-2, ketika konsumsi energi ditingkatkan dari 420 menjadi 610 g DOM peningkatan DSP tampaknya lebih rendah dibandingkan peningkatan konsumsi keduanya yakni Protein dan energi.
Rasio kandungan energi tampaknya berpengaruh terhadap produksi testosteron dan bobot vesikula seminalis sebagai indikatornya. Dalam penelitian sebelumnya (Moule et al., 1966), kandungan fruktosa dalam ejakulasi domba ditemukan menurun ketika konsumsi energi diturunkan. Konsumsi energi kemungkinan tidak berpengaruh terhadap spermatogenesis atau testosteron secara langsung, tetapi kemungkinan berpengaruh terhadap karakteristik gonadotrophin yang dihasilkan oleh kelenjar pituitari. Pada domba betina ovulasi lebih banyak dipengaruhi oleh konsumsi energi dibandingkan konsumsi protein (Memon et al., 1971).
Meskipun bobot badan domba Peppin dan non-Peppin sama, bobot testis dan jumlah sperma berbeda dan dimungkinkan genetik berpengaruh terhadap DSP. Perbedaan produksi sperma antar strain bisa dipengaruhi kondisi lingkungan (kekurangan nutrisi, suhu tinggi, dll) yang menyebabkan penurunan DSP.
Perubahan jumlah sperma per ejakulat pada domba tidak tampak hingga minimal 7 minggu setelah perubahan nutrisi. Penelitian ini menyarankan bahwa ransum dengan HP bukan yang utama untuk dapat mengoptimalkan produksi sperma, akan tetapi lebih berdampak dapat meningkatkan libido pada domba (Mattner and Braden 1974).
0 comments:
Post a Comment